Humoria Hukuman Adat

Di tengah hutan yang lebat dan nyaris belum terjamah oleh pandatang dari luar, hidup sebuah suku dengan adat leluhur yang masih mereka pelihara dan pertahankan. Suku itu berusaha menjauhi dunia luar agar segala budaya leluhurnya tidak terkontaminasi. Sebagaimana suku-suku pedalaman umumnya, mereka juga memiliki seorang pimpinan yang sangat disanjung dan dipatuhi. Ucapan kepala suku adalah absolut, hukum yang mutlak harus ditaati.

Suatu ketika pada siang hari, tiga orang asing sedang berpetualang dan ingin mendirikan kamp. Tanpa disengaja ternyata mereka telah memasuki wilayah adat, dan tertangkap penjaga keamanan wilayah. Dengan kedua tangan terikat dan todongan tombak beracun, merekapun digelandang menuju balai sidang permusyawaratan adat. Sang kepala suku yang mendapatkan laporan adanya penangkapan tersebut langsung menuju balai sidang untuk memberikan peradilan. Semua warga adat telah berkumpul mengerumuni tiga orang asing yang bersimpuh dengan kedua tangan terikat ke belakang.Teriakan-teriakan warga yang maknanya mungkin meminta agar dijatuhkan hukuman terdengar bagai sebuah harmoni kematian bagi ketiga orang asing itu. Tiba-tiba suara menjadi hening ketika kepala suku memasuki balai sidang. Sambil berjalan mengelilingi tawanannya, diperhatikan ketiganya dengan seksama.
Dengan pertimbangan bahwa tidak ada kejahatan berat yang mereka lakukan, melainkan sekedar memasuki wilayah tanpa ijin, kepala suku menjatuhkan hukuman kepada ketiganya dengan hukuhan yang terhitung relatif ringan. Ketiga tawanan itu harus harus mencari tiga buah-buhan yang di tengah hutan tanpa bantuan alat apapun. Jika sampai tenggelamnya matahari belum mendapatkan tiga buah-buahan, maka hukuman yang diberikan tentu akan lebih berat, bahkan bisa menjadi hukuman mati.

Hukum telah dijatuhkan, beberapa prajurit langsung menterjemahkan perintah itu dengan melepaskan tali ikatan ketiga tawanannya, dan ketiganya diminta berpencar mencari tiga buah-buahan. Bukanlah urusan mudah mencari buah-buahan di tengah hutan itu, terlebih tanpa bantuan alat apa pun. Belum lagi mereka masih buta akan seluk-beluk isi hutan. Saat mereka berpencar mencari buah-buahan, sebenarnya tidaklah mereka dilepaskan sepenuhnya, tetapi beberapa pasang mata dengan waspada selalu mengintainya. Ketiga tawanan itu sadar, kalau coba-coba melarikan diri fatal akibatnya, sebuah goresan kecil anak panah yang sudah dilumuri racun itu pasti sudah cukup untuk menyumbat dan menghentikan aliran darahnya.

Hari sudah menjelang sore, matahari sudah siap-siap keperaduan. Tiba-tiba tawanan pertama sudah datang dengan menenteng buah duku yang masih berada pada rantingnya. Melihat jumlahnya, tentu lebih dari tiga, mungkin sepuluh. Tawanan pertama melapor ke penjaga, selanjutnya dipanggilah sang kepala suku untuk memberikan perintah selanjutnya. Kepala suku memperhatikan buah yang dibawa tawanan pertama, lalu berkata lantang kepada tawanan pertama : “Satu duku untukku, satu duku lagi untuk monyet piaraanku, dan sisanya kau makan sendiri tetapi harus dengan menelannya tanpa dikupas kulitnya.” . “Laksanakan! Sekarang!”, perintahnya lagi dengan lebih tegas. Maka dua buah duku diserahkan kepada pengawal untuk selanjutnya diberikan kepada sang kepala dan piaraannya, sisanya sekitar delapan lagi, satu persatu harus ditelan tawanan pertama dengan susah payah dan disaksikan oleh seluruh warga adat. Duku pertama telah dicoba untuk ditelan dengan sedikit gamang. Terlihat mata tawanan itu melotot saat duku itu sudah sampai di tengah tenggorokan. Dengan susah payah akhirnya duku pertama berhasil ditelan. Lalu dengan susah payah lagi dilanjutkan untuk duku kedua, ketiga d.s.t.
Saat semua duku sudah terlahap, atau lebih tepatnya tertelan habis, maka dengan demikian terbebaslah dia dari hukuman yang lebih berat. Namun tidak begitu saja dia harus pergi meninggalkan tempat itu, karena didorong oleh rasa solidaritas, dia harus menunggu nasib kedua temannya terlebih dahulu. Tidak lama kemudian tawanan kedua muncul. Dengan mengucsap-usap mata, tawanan pertama meperhatikan orang yang berjalan masuk dari sisi barat, dan selanjutnya terawa mengakaklah tawanan pertama itu begitu mengetahui bahwa yang datang itu adalah tawanan kedua yang melenggang sambil meneteng dua ikat rambutan, kurang lebih ada dua puluh buah rambutan semuanya. Menelan delapan buah duku saja sudah nyaris membuat tenggorokannya bengkak, apalagi harus menelan delapan belas rambutan beserta kulitnya. Dan benarlah perkiraan tawanan pertama, perintah selanjutnya sama dengan perintah yang dia terima sebelumnya. Dengan mata melotot dan cucuran keringat dingin, tawanan kedua berupaya menelan rambutan itu satu per satu dengan lebih susah payah.Saat rambutan kelima akan ditelan, tiba-tiba tawanan kedua itu tertawa ngakak, jauh lebih ngakak dari tawanan pertama. Semua yang ada di tempat itu termasuk tawanan pertama keheranan.Mengapa tawanan kedua itu bisa-bisanya tertawa ngakak, padahal masih ada sekitar tiga belas rambutan lagi yang harus ditelan.Saat tertawanya makin terpingkal-pingkal, tawanan kedua itu menunjuk suatu arah dengan telunjuk tangannya, dan ternyata dari arah timur muncul tawanan ketiga dengan membawa sekitar enam buah durian yang besar-besar.

Popular posts from this blog

Mengenal Concurrency Control pada Database

Normalisasi Tabel

Hidup Sehat Alami-Dr.Tan Tjiauw Liat