Fenomena Irrasional, Ponari Sang Putra Petir.

Daya tarik utama atas fenomena itu bersumber pada sebuah batu petir yang dimiliki sang bocah kecil bernama Ponari. Konon, batu itu terkait sambaran petir yang dibawa pulang oleh Ponari. Konon pula, batu itu bisa kembali sendiri ke rumah Ponari setelah dibuang ke kebun.Singkat kata, batu itu sangat istimewa, sehingga sang bocah mampu mengobati tetangganya yang sakit dengan perantaraan batu itu. Pilot project (pertama) ponari ternyata berhasil. Alhasil, bak butiran yang bergulung di atas gunung salju, berita penyembuhan itu berhembus dari mulut ke mulut, dari satu rumah ke rumah yang lain, dari satu kampung ke kampung yang lain, begitu seterusnya, dan ditambah pemberitaan media yang sangat gencar, maka dalam waktu yang relatif singkat, puluhan, ratusan, ribuan, d.s.t, masyarakat berduyun-duyun ke tempat Ponari. “Mau mencoba, siapa tahu….……”, begitu mungkin yang antara lain ada di benak mereka.
Memperhatikan fenomena ini, akal sehat tentu akan dengan sangat tegas melakukan penolakan. Masyarakat sudah jauh meninggalkan nalar sehatnya. Entah dengan perhitungan bagaimana, mereka tidak hanya rela mengantri begitu panjang dan melelahkan, tetapi mereka sudah sampai pada keputusan untuk mengambil air atau tanah comberan sekitar rumah pengobatan, sebagai alternatif jika tidak bertemu Ponari. Belum sempat semua isi antrian itu mendapatkan kesempatan untuk mencicipi tuah batu petir Ponari, masyarakat dihebohkan lagi atas pengakuan temuan batu serupa yang lokasinya masih tidak jauh dari desa Ponari. Bedanya, kali ini empunya adalah bocah perempuan. Betapa sudah demikian tidak terkendalinya nalar saudara-saudara kita itu. Apakah yang menyebabkan semua itu? Tekanan ekonomikah? Hilangnya kepercayaan kepada departemen terkaitkah? Ataukah karena fasilitas kesehatan yang berada di atas menara gading, hingga sulit dijangkau oleh masyarakat lapisan bawah? Atau karena faktor sosial lain? Kasihan sekali melihat apa yang mereka alami dan lakukan.
Pada suatu titik, mungkin masih wajar jika mereka perlu mencari pengobatan alternatif, baik melalui akupuntur, terapi herbal, terapi elektronik, dan aneka macam metode alternatif lainnya. Tidak sedikit kita jumpai pengobatan alternatif menjadi pertimbangan efektif dan aman, yang tidak hanya dirasakan oleh masyarakat ekonomi kelas bawah, tetapi juga masyarakat kelas mengah hingga atas. Dari yang tidak berpendidikan formal hingga yang berpindidikan tinggi, sundul langit sekalipun. Tetapi semuanya masih dalam batasan logika yang wajar, tidak demikian dengan mengkonsumsi air dan tanah comberan. Yang jauh lebih dikhawatirkan lagi adalah bisa terjerumusnya masyarakat ke dalam musrik, yang menganggap kesembuhannya (jika memang terjadi) adalah karena tuah dari batu petir ajaib itu, batu yang kini lengket dengan empunya, Ponari Sang Putra Petir, mungkin demikian disebutnya jika dinovelkan.