Fenomena Irrasional, Ponari Sang Putra Petir.

Akhir-akhir ini, kita disuguhkan oleh suatu fenomena aneh yang terjadi pada suatu wilayah, tepatnya di desa Brodot, Jombang, Jawa Timur. Fenomena yang tidak hanya menyedot puluhan ribu warga untuk mencari pengobatan alternatif, tetapi juga menyedot perhatian masyarakat lain yang semakin hari semakin meluas. Bahkan mungkin karena didorong oleh suatu kekhawatiran, tokoh agama tidak cukup memberikan fatwa pelurusan pemahaman dari belakang layar, tetapi harus terjun langsung ke lapangan. Begitu menariknya fenomena tersebut, hingga media masapun tidak cukup sekali mengulasnya. Tak pelak, bisa jadi karena andil pemberitaan di media pula, maka yang berdatangan ke Brodot tidak hanya warga sekitar, tetapi sudah menjangkau jauh dari wilayah lain, mungkin sudah sampai luar Jawa Timur. Konsentrasi warga di Brodot, bak munculnya luapan lumpur lapindo yang semakin hari semakin sulit dibendung. Semakin hari, semakin menyemut, hingga perlu dibentuk kepanitiaan pengobatan. Konsentrasi itupun telah menyedot uang tidak sedikit, bahkan bisa dibilang sangat besar, miliaran rupiah. Wow……..! Seorang bocah secara tiba-tiba telah menyedot perputaran uang sebesar itu. Mungkin banyak yang diuntungkan, tetapi tentu ada ongkos yang harus dibayar, terutama oleh warga sekitar termasuk keluarga yang bersangkutan. Desa yang sebelumnya aman tenteram, warganya leluasa keluar masuk kampung, bekerja keras untuk menghidupi keluarganya, kini harus berjuang keras membuka sumbatan ribuan warga, agar bisa beraktifitas, atau sekalian ikut terlibat dalam penangangan antrian itu. Sang bocahpun bahkan harus rela meninggalkan bangku sekolah, artinya harus meninggalkan kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih layak. Tidak cukup sampai disitu, kesempatan bermain bersama teman-teman sebaya sebagaimana keceriaan sebelumnya terampas oleh panjangnya antrian yang harus ditangani. Sang ayahpun harus dirawat di rumah sakit karena terlibat tarik ulur kepentingan sang anak ajaib.

Daya tarik utama atas fenomena itu bersumber pada sebuah batu petir yang dimiliki sang bocah kecil bernama Ponari. Konon, batu itu terkait sambaran petir yang dibawa pulang oleh Ponari. Konon pula, batu itu bisa kembali sendiri ke rumah Ponari setelah dibuang ke kebun.Singkat kata, batu itu sangat istimewa, sehingga sang bocah mampu mengobati tetangganya yang sakit dengan perantaraan batu itu. Pilot project (pertama) ponari ternyata berhasil. Alhasil, bak butiran yang bergulung di atas gunung salju, berita penyembuhan itu berhembus dari mulut ke mulut, dari satu rumah ke rumah yang lain, dari satu kampung ke kampung yang lain, begitu seterusnya, dan ditambah pemberitaan media yang sangat gencar, maka dalam waktu yang relatif singkat, puluhan, ratusan, ribuan, d.s.t, masyarakat berduyun-duyun ke tempat Ponari. “Mau mencoba, siapa tahu….……”, begitu mungkin yang antara lain ada di benak mereka.

Memperhatikan fenomena ini, akal sehat tentu akan dengan sangat tegas melakukan penolakan. Masyarakat sudah jauh meninggalkan nalar sehatnya. Entah dengan perhitungan bagaimana, mereka tidak hanya rela mengantri begitu panjang dan melelahkan, tetapi mereka sudah sampai pada keputusan untuk mengambil air atau tanah comberan sekitar rumah pengobatan, sebagai alternatif jika tidak bertemu Ponari. Belum sempat semua isi antrian itu mendapatkan kesempatan untuk mencicipi tuah batu petir Ponari, masyarakat dihebohkan lagi atas pengakuan temuan batu serupa yang lokasinya masih tidak jauh dari desa Ponari. Bedanya, kali ini empunya adalah bocah perempuan. Betapa sudah demikian tidak terkendalinya nalar saudara-saudara kita itu. Apakah yang menyebabkan semua itu? Tekanan ekonomikah? Hilangnya kepercayaan kepada departemen terkaitkah? Ataukah karena fasilitas kesehatan yang berada di atas menara gading, hingga sulit dijangkau oleh masyarakat lapisan bawah? Atau karena faktor sosial lain? Kasihan sekali melihat apa yang mereka alami dan lakukan.

Pada suatu titik, mungkin masih wajar jika mereka perlu mencari pengobatan alternatif, baik melalui akupuntur, terapi herbal, terapi elektronik, dan aneka macam metode alternatif lainnya. Tidak sedikit kita jumpai pengobatan alternatif menjadi pertimbangan efektif dan aman, yang tidak hanya dirasakan oleh masyarakat ekonomi kelas bawah, tetapi juga masyarakat kelas mengah hingga atas. Dari yang tidak berpendidikan formal hingga yang berpindidikan tinggi, sundul langit sekalipun. Tetapi semuanya masih dalam batasan logika yang wajar, tidak demikian dengan mengkonsumsi air dan tanah comberan. Yang jauh lebih dikhawatirkan lagi adalah bisa terjerumusnya masyarakat ke dalam musrik, yang menganggap kesembuhannya (jika memang terjadi) adalah karena tuah dari batu petir ajaib itu, batu yang kini lengket dengan empunya, Ponari Sang Putra Petir, mungkin demikian disebutnya jika dinovelkan.

Popular posts from this blog

Mengenal Concurrency Control pada Database

Normalisasi Tabel

Hidup Sehat Alami-Dr.Tan Tjiauw Liat